Dalam psikologi sosial, jilbab sebagai busana muslimah mempunyai tiga fungsi utama yaitu :
1. Diferensiasi.
Dengan busana muslimah seseorang membedakan dirinya, kelompoknya atau golongannya dari orang lain. Busana memberikan identitas yang memperteguh konsep diri. Kelompok anak muda yang ingin menegaskan identitasnya, berusaha menunjukkan pakaian yang aneh-aneh. Dengan perilaku aneh, ia membedakan dirinya dengan orang tua. Busana muslimah memberikan identitas keislaman, yang membedakan dirinya dari kelompok wanita yang lain.
Dalam dunia modern sekarang ini, banyak wanita yang mencari-cari identitas dengan menampilkan pakaian-pakaian yang sedang in atau menjadi mode zaman. Seorang wanita yang tiba-tiba naik pada posisi tinggi mengalami krisis identitas. Untuk memperteguh identitas dirinya, ia akan mencari busana yang melambangkan status barunya.
2.Perilaku.
Busana muslimah bagi seorang muslimah, memberikan citra diri yang stabil. Ia ingin menunjukkan bahwa “Saya adalah muslimah” melalui jilbabnya. Dengan itu, tertanam dalam dirinya untuk menolak segala macam sistem jahiliyah dan ingin hidup dalam sistem islami. Karena itu, selembar kain kerudung yang menutup rambut dan lehernya menjadi simbol keterlibatan pada Islam.
Dari sini, busana muslimah mendorong pemakainya berperilaku sesuai dengan citra muslimah. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan memakai pakaian seragam kelompok tertentu, seorang menunjukkan – melalui pakaian seragamnya itu – bahwa ia telah melepaskan haknya untuk bertindak bebas dan dalam batas-batas kaidah-kaidah kelompoknya. ABRI yang berpakaian seragam akan merasakan perilakunya berbeda ketika ia berpakaian preman. Santri yang menanggalkan sarung dan peci serta menggantikannya dengan celana “blue-jeans” dan “t-Shirt” akan merasakan perubahan perilakunya.
3.Emosi.
Pakaian mencerminkan emosi pemakainya, sekaligus mempengaruhi perilaku orang lain. Busana muslimah yang diungkapkan secara massal akan mendorong emosi keagamaan yang konstruktif. Emosi dan perilaku sebenarnya kembali kepada fungsi pertama dari pakaian, yakni diferensiasi.
Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita akan mengkategorikan orang itu dalam satu kategori yang terdapat di dalam memori kita. Kita akan segera mengelompokkan orang ke dalam kategori mahasiswa, cendekiawan, penjahat, dan lain-lain. Kita menetapkan kategori itu berdasarkan gambaran yang tampak, petunjuk wajah, petunjuk bahasa dan petunjuk artifaktual. Dalam waktu yang singkat, kita akan umumnya menggunakan petunjuk artifaktual, dalam hal ini busana. Karena busana terlihat sebelum terdengar.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gibbins pada gadis-gadis sekolah menengah menunjukkan bahwa manusia memang betul-betul menilai orang lain atas dasar busananya dan makna yang disampaikan busana tertentu cenderung disepakati.[11]
Wanita yang menggunakan busana muslimah akan selalu dipersepsi dalam kategori muslimah. Boleh jadi, berbagai gambaran tentang kriteria seorang muslimah dikaitkan dengan kategori ini, misalnya wanita saleh, istri yang baik, tahu banyak tentang agama dan lain-lain. Apa pun konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori muslimah. Dari persepsi itu, orang kemudian mengatur perilakunya terhadap pemakai busana muslimah. Orang tidak akan melakukan perbuatan tidak senonoh, kemungkinan hanya “gangguan” kecil seperti ucapan “Assalamu ‘Alaikum” untuk bercanda.
Inilah barangkali yang dimaksud oleh Allah dengan “sehingga mereka tidak diganggu” .
Busana muslimah mempunyai fungsi penegas identitas. Dengan busana itu, seorang muslimah mengidentifikasikan dirinya dengan ajaran Islam. Karena identifikasi ini, ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Busana muslimah akan menyebabkan orang lain mempersepsi pemakainya sebagai wanita muslimah dan akan memperlakukannya seperti dia.